Category:
Time Add:
none (none)
Membaca Ilmu Pengetahuan:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Blog Harian kembali hadir dengan artikel 'menarik' di pagi yang cerah ini.
Kali ini, saya akan mengajak Anda semua untuk menyimak sebuah artikel dari sumber yang patut kita kunjungi link nya di akhir artikel ini.
Seperti apakah artikel tersebut, ayo kita simak:
Dari sisi lughawi
(bahasa), kata
ikhlas berasal dari akar kata kh-l-sh yang artinya murni,
tidak bercampur
dengan yang
lainnya. Laban
khaalish dalam
bahasa arab berarti susu murni yang
tidak bercampur
dengan apapun.
Tidak bercampur
dengan air, tidak
bercampur dengan gula, tidak pula bercampur dengan yang lainnya.
Dengan demikian
ikhlas berarti
memurnikan
sesuatu. Dalam
konteks kajian
tauhid dan akhlaq, tentu saja yang
dimaksud adalah
memurnikan
penghambaan dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Adapun secara
terminologis
(isthilahi), ikhlas
berarti
mengerjakan amal perbuatan lillahi ta'ala, semata-mata karena Allah,
tidak karena yang lainnya.
Yang
diharapkan
hanyalah ridha dan balasan dari Allah.
Sebagian ulama
yang lain
mendefinisikan
ikhlas sebagai Мanlaa tathluba 'alaa 'amalika ayya syuhuud' (engkau
melakukan amal
perbuatan tidak
karena ingin dilihat oleh seseorang).
Ini sesuai dengan
firman Allah SWT di penggal terakhir QS
Al-Fath: 28: 'Wa
kafaa billahi
syahiidan' (Dan
cukuplah Allah
semata sebagai
saksi atas segala amal perbuatan).
Mengapa kita
ikhlas?
Setidak-tidaknya
ada tujuh alasan
mengapa kita harus bersikap ikhlas dalam melakukan
setiap amal
perbuatan.
Alasan pertama, karena ikhlas adalah perintah Allah.
Allah SWT berfirman
dalam QS Al-Bayyinah: 5: 'Dan tidaklah mereka
diperintahkan
kecuali untuk
menyembah Allah dengan
mengikhlaskan
(memurnikan)
ketaatan semata-mata untuk-Nya
dalam menjalankan
agama yang
lurus.
'Allah SWT juga berfirman
dalam QS Al-An'am: 162-163:
'Katakanlah:
Sesungguhnya
sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tiada sekutu bagi-Nya; Dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).'
Alasan kedua, ikhlas merupakan
manifestasi tauhid.
Karena itu para
ulama menyebut
riya' sebagai syirik yang tersembunyi
(al-syirk al-khafiyy).
Karena orang yang riya' berarti telah menyekutukan
Allah dalam niatnya,
menyekutukan
Allah dalam
peruntukan
ibadahnya.
Alasan ketiga, ikhlas merupakan salah satu syarat
diterimanya amal.
Sebagaimana
diketahui, syarat
diterimanya amal
ada dua: ikhlas dan benar. Jika salah satu saja dari kedua
syarat ini tidak
terpenuhi, suatu
amalan tidak akan diterima oleh Allah.
Dalam QS Al-Kahfi:
110 Allah SWT
mengisyaratkan
dua syarat
tersebut: 'Maka barangsiapa yang
mengharapkan
pertemuan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia
beramal dengan
amalan yang benar (shalih) dan ia tidak
menyekutukan
ibadah kepada
Tuhannya dengan sesuatupun.
'Perlu juga diketahui
bahwa yang
membatalkan
pahala amal kita
ada dua. Pertama, pembatal pahala
semua amal, yaitu kekafiran atau kemusyrikan. Ini
terjadi jika kita
tidak menyembah
Tuhan (atheis), atau menyembah tuhan selain Allah (kafir),
atau menyembah
tuhan yang lain
bersama-sama
Allah (musyrik).
Namun ketika
seorang atheis,
kafir atau musyrik kembali pada iman
dan tauhid, maka
pahalanya akan
kembali,
kesalahannya
dihapus, bahkan
kesalahannya akan diubah menjadi kebaikan.
Kedua, pembatal
amal tertentu. Ini
terjadi jika kita
tidak ikhlas dalam melakukan suatu
amal tertentu.
Inipun ada dua
keadaan. Keadaan
pertama adalah
tidak ikhlas dalam suatu amal secara
keseluruhan (ashlul 'amal), misalnya orang yang sholat
karena riya', maka sholatnya secara keseluruhan tidak berpahala. Keadaan
kedua adalah tidak ikhlas dalam aushaful 'amal (sifat-sifat amal),
misalnya seseorang
yang sholat karena Allah, tetapi memperpanjang
rakaat/ruku'/sujud karena manusia, maka
panjangnya rakaat/ruku'/sujud itu saja yang tidak berpahala.
Alasan keempat,
keikhlasan
menentukan nilai
amal kita. Innamal
a'malu bin niyyat,
amalan itu hanyalah
tergantung pada
niatnya. Wa innama likullimri-in ma
nawa, setiap orang hanya
mendapatkan
sesuai dengan
niatnya. Hadits
tentang keikhlasan
ini ditaruh sebagai hadits nomor 1 dari
42 hadits pilihan
tentang pokok-pokok agama dalam
Hadits Arba'in
Nawawiyah. Ini
menunjukkan
betapa pentingnya
keikhlasan. Sabab
wurud dari hadits ini adalah karena adanya seorang laki-laki yang berhijrah karena ingin menikahi
wanita muhajirin
bernama Ummu
Qays, bukan
berhijrah karena
taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Keikhlasan memang akan menentukan
nilai amal kita.
Orang yang beramal demi akhirat tidak
sama dengan orang yang beramal demi
dunia. Jika
seseorang beramal demi dunia, maka ia
tidak akan
mendapatkan
bagian akhirat
(pahala). Ia hanya mungkin
mendapatkan
dunia, atau bahkan mungkin tidak
mendapatkannya.
Tetapi jika ia
beramal untuk
akhirat, maka ia
akan mendapatkan
bagian akhirat
(pahala), dan Allah
juga Maha Adil dan Maha Pemurah
sehingga juga akan memberinya bagian dunia. Sehingga ia
mendapatkan dunia dan akhirat
sekaligus.
Demikian pula, niat memiliki kedudukan
yang amat tinggi.
Sebagaimana
ditegaskan dalam hadits Nabi saw,
jika seseorang
mempunyai niat
untuk beramal baik niscaya ia sudah dinilai 1 kebaikan,
meski belum
melaksanakan amal baik tersebut. Jika
ia betul-betul
melaksanakan
niatnya, maka
pahalanya akan
dilipatgandakan
minimal 10 kali
lipat. Namun niat
buruk belum dinilai 1 keburukan sampai benar-benar
dilaksanakan. Dan jika dilaksanakan
hanya dinilai 1
keburukan saja.
Nilai amal baik kita amat tergantung
pada niat kita. Amal baik tanpa niat benar, meski
banyak, tidak
diterima. Tetapi
amal baik dengan niat benar, meski
sedikit, bernilai
besar di sisi Allah.
Bahkan amal-amal
mubah bisa bernilai kebaikan (ibadah) hanya karena niatnya. Pahala amal mubah bisa
berbeda karena
perbedaan niatnya.
Karena itu mari kita biasakan untuk menata niat ketika
melakukan
perkara-perkara
yang mubah
sekalipun. Ikhlas
bukan hanya dalam ibadah mahdhah,
tetapi juga dalam
setiap perkara yang kita lakukan dalam
hidup ini (Qul inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa
mamati lillahi rabbil 'alamin).
Karena sedemikian
pentingnya niat,
bahkan ada orang-orang yang tanpa
beramal bisa
mendapatkan
pahala kebaikan
sebagaimana orang yang beramal hanya karena niatnya.
Misalnya,
sebagai ditegaskan
dalam hadits Nabi saw, dalam kasus orang miskin yang
ingin bersedekah.
Atau dalam kasus seseorang yang berniat dengan tulus untuk mencapai syahid.
Rasulullah saw
bersabda: Man sa-ala Allaha asy-syahadah bishidqin
ballaghahullahu
manazilasy
syuhada' wa in
maata 'alaa
firaasyihi
(Barangsiapa
memohon
kesyahidan kepada Allah dengan tulus
dan sungguh-sungguh, niscaya
Allah akan
menyampaikannya pada derajat orang-orang yang mati
syahid meskipun ia mati diatas ranjang
tempat tidurnya) -HR Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi.
Alasan kelima,
keikhlasan akan
menyelamatkan
kita dari godaan
syetan.
Ini sesuai
dengan pengakuan
Iblis Sang Penghulu
Syetan itu sendiri, yang diabadikan
dalam QS: 79-83:
'Iblis berkata: Ya Tuhanku, beri
tangguhlah aku
sampai hari mereka
dibangkitkan". Allah berfirman:
"Sesungguhnya
kamu termasuk
orang-orang yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang telah
ditentukan
waktunya (hari
kiamat)". Iblis
menjawab: "Demi
kekuasaan Engkau,
aku akan
menyesatkan
mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.
Bahkan Yusuf as
yang sedang digoda oleh seorang
wanita cantik, kaya, dan terpandang
pun, hanya bisa
selamat karena ia memiliki keikhlasan,
sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam QS
Yusuf: 24:
'Sesungguhnya
wanita itu telah
bermaksud
(melakukan
perbuatan itu)
dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud
(melakukan pula)
dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan
dari padanya
kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya
Yusuf itu termasuk
hamba-hamba Kami yang ikhlas.'
Alasan keenam,
tidak adanya
keikhlasan akan
mencelakakan kita di akhirat nanti.
Yang lebih celaka lagi adalah jika kita
sewaktu beramal di
dunia ini tidak
menyadari bahwa kita tidak ikhlas.
Karena itulah
Rasulullah saw
memberi tuntunan
agar kita setiap
pagi dan setiap
petang berdoa
sebagai berikut:
'Allahumma inni
a'udzu bika min an usyrika bika syaian a'lamuh, wa astaghfiruka lima laa a'lamuh (Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari
menyekutukan-Mu dengan sesuatu
sedangkan aku
mengetahui. Dan
aku mohon ampun kepada-Mu dari
yang tidak aku
ketahui).'
Perhatikan pula
sabda Rasulullah
saw tentang tiga
jenis manusia yang akan pertama kali
dilempar ke neraka,
padahal tiga orang itu adalah seorang
mujahid, seorang
'alim dan pandai Al-Qur'an, dan seorang yang gemar berinfaq. Ketiganya
celaka dan dilempar ke neraka hanya
karena satu hal:
mereka tidak ikhlas.
Dan alasan ketujuh,
keikhlasan akan
mendatangkan
kekuatan.
Ini sesuai dengan kisah penebang pohon yang disampaikan
oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya. Dalam
hadits tersebut
dikisahkan tentang seorang dai yang hendak menebang
pohon yang
dijadikan berhala
oleh penduduk
sebuah kampung.
Sang dai hendak
menebang pohon itu karena Allah.
Ketika Iblis
berusaha
menghadang sang dai dan keduanya
berkelahi, kalahlah Iblis. Namun Iblis
sesudah itu
melakukan tipu
daya. Ia membujuk
sang dai agar tidak usah lagi berusaha
menebang pohon, dengan kompensasi
bahwa Iblis akan
memberi sang dai sejumlah uang setiap pagi, yang diletakkan dibawah bantal sang dai.
Namun setelah
beberapa lama
uang itu diberikan,
suatu saat Iblis
tidak lagi
memberikan uang.
Marahlah sang dai, dan diambillah
kapaknya. Ia
berangkat dengan marah untuk menebang kembali
pohon tersebut. Iblis pun kembali
menghadangnya,
kedua kembali
berkelahi, namun
kali ini sang dai
yang dikalahkan
oleh Iblis. Sang dai kalah karena kali ini tidak ikhlas karena
Allah, tetapi karena sejumlah uang. Ia marah karena Iblis
tidak lagi
memberinya uang.
Sumber/Source
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.